animasi-bergerak-selamat-datang-0026 animasi-bergerak-halo-0014 animasi-bergerak-halo-0025 animasi-bergerak-halo-0014 animasi-bergerak-selamat-datang-0026

Kamis, 09 November 2017

PERKEMBANGAN KODE ETIK PROFESI AKUNTAN INDONESIA




Perumusan Dan Kode Etik Profesi Akuntan di Indonesia
Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1982, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998-sekarang.
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Draft Kode Etik Akuntan Indonesia sudah disusun jauh sebelum kongres IAI yang pertama, namun baru disahkannya Kode Etik Akuntan Indonesia yang pertama pada saat konggres IAI III pada tanggal 2 Desember 1973. Kode Etik ini 90 % merupakan Kode Etik AICPA yang berlaku di  Amerika Serikat saat itu. Menurut AICPA ada 6 prinsip, yaitu
1.   Tanggung-Jawab
Dalam menyelesaikan tanggungjawab sebagai profesional, anggota perlu melatih sensitifitas profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitas mereka. Tangungjawab utama adalah untuk publik secara umum. Kode tersebut menyebutkan tiga area kewajiban, yaitu: a) Untuk meningkatkan kegiatan accounting, b) Untuk memelihara kepercayaan publik, dan c) Untuk menyelesaikan tanggungjawab profesional untuk pemerintahan sendiri.
Untuk memenuhi kewajiban moral diatas, kode etik menandai bahwa akuntan membutuhkan praktek penilaian sensitifism moral. Untuk penilaian sensitive moral, akuntan akan membutuhkan sebagai evaluasi aktivitasnya dipandang dalam sudut alasan. Akuntan akan membutuh­kan dengan mempertimbangkan: Apakah aktivitas ini menguntungkan atau merugikan?, Apakah menghormati terhadap hak mereka?, Apakah pekerjaannya dengan fair?, Apakah mereka konsisten dengan komitmen akuntan yang dibuat?
Penilaian sensitivisme moral memastikan tidak ada tempat untuk perilaku yang egois (mementingkan diri sendiri). Sebagai konsekuensi profesi akuntan dan banyak partner kerja dalam profesi yang akan menyuarakan dengan beberapa versi atau the golden rule.

2.   Melayani Kepentingan Publik
Anggota perlu menerima tanggung-jawab untuk tindakan melayani kepentingan publik, kepercayan publik, dan komitmen profesionalisme, Kode menjelaskan bahwa tanggungjawab untuk publik adalah nilai pembeda profesional.  Seandainya fungsi accounting sebatas sebagai accounting publik dilibatkan dalam external auditing, lalu tentu saja tanggungjawab untuk publik jelas, tetapi soal dengan tax accounting and manajemen accounting atau bahkan internal auditing? Penjelasan kepercayaan publik berakhir dengan pernyataan bahwa semua yang suka rela menerima keanggotaan dalam AICPA berkomitmen untuk menghormati kepercayaan publik.

3.       Integritas
Untuk memelihara dan meluaskan kepercayaan publik, anggota pada perform semua tanggungjawab profesional dengan meningkatkan daya integritas. Prinsip ke dua diatas digunakan untuk memecahkan tekanan konflik dari antara group dengan integritas, prinsip ini adalah prinsip yang spesifik akan kebutuhan pada integritas. Kode ini menggambarkan integritas dalam jalan berikut: “Integritas adalah elemen karakter fundamental untuk pengenalan profesional. Itu adalah kualitas dari memperoleh kepercayaan publik dan benchmark yang melawan terhadap anggota yang harus melakukan tes akhir untuk semua keputusan, memerlukan anggota untuk melakukan, antara pemikiran yang lain, kejujuran, dan kesucian dalam batasan kerahasian klien. Layanan dan kepercayaan publik tidak perlu diperbudak keuntungan dan kelebihan personal, Itu diukur dalam istilah apakah benar atau adil”.
Secara jelas dapat dikatakan bahwa keputusan salah menggambarkan keuangan perusahaan atau melewatkan beberapa kecurigaan red flags dalam laporan keuangan perusahaan akan melanggar integritas akuntan, tetapi integritas mana yang dilanggar? Tentu saja jelas jawabannya seperti tingkah laku yang melibatkan akuntan dalam melakukan ketidak jujuran. Integritas, sebagai kejelasan dari statement, adalah sering diambil untuk menyamakan dengan kejujuran.

4.       Objektivitas Dan Independensi
Anggota perlu memelihara objektivitas dan bebas konflik kepentingan dalam membebaskan tanggungjawab profesional. Anggota praktisi publik perlu kebebasan dalam fakta dan penampilan ketika menyediakan auditing dan jasa opini lainnya, Objektivitas adalah kwalitas sudut pandang, karena itu adalah kebaikan, beberapa kebiasaan yang dikembangkan. Prinsip ini memerlukan seseorang yang objektive yang tidak berat sebelah, secara intelektual jujur, dan bebas konflik kepentingan. Untuk melaksanakan ketiga prinsip diatas maka diperlukan independence untuk menghalangi hubungan yang mungkin nampak untuk merusak objektivitas anggota dalam menyumbangkan layanan opini. Anggota dalam layanan publik perlu independence dalan fakta dan penampilan, serta untuk menuju keberhasilan obyektivitas tidak mudah dan harus berusaha sebaik-baiknya pada waktu untuk memenuhi pandangan point objektive.

5.       Keperdulian Yang Pantas
Anggota perlu mengamati teknik profesi dan standart etika, bekerja keras secara berkesinambungan untuk meningkatkan kompetisi dan kualitas jasa, dan memebaskan tanggungjawab profesional untuk kemampuan anggota yang terbaik. Prinsip ini menetapkan penghalang yang sangat tinggi untuk akuntan. Penjelasan pada prinsip menandai bahwa itu melibatkan “mencari keunggulan” yang diidentifikasi sebagai inti sari dari prinsip ini. Keunggulan itu memerlukan : a) Competence (kemampuan) adalah sesuatu yang akan diperoleh dari pendidikan dan pengalaman, dan b) Diligence (kerajinan) adalah aspek lain yang mana “memaksakan tanggungjawab untuk memandang layanan dengan segera dan hati hati, untuk menjadi seksama, dan untuk mengamati teknik yang bisa diterapkan dan standart etika.

6.       Lingkup Dan Nature Jasa
Anggota dalam praktik publik perlu mengamati The Principles of the Code of Conduct dalam menentukan lingkup dan nature tentang jasa yang disajikan. Penjelasan yang mendasari kesesuaian lingkup dan nature jasa mengamanatkan bahwa beberapa persoalan prinsip mungkin menghadirkan “keseluruhan batasan atas layanan non audit yang mungkin ditawarkan untuk klien spesifik. Tidak ada peraturan yang tidak dapat diubah dapat dikembangkan untuk menolong anggota menjangkau penilaian, tetapi mereka harus mencukupi bahwa mereka mempertemukan spirit prinsip dalam kepedulian. Aplikasi prinsip adalah tindakan yang terbaik dilakukan dalam spirit keadilan oleh kebijaksanaan praktisi. Sebagai kode menyatakan : “dalam order untuk memenuhi ini, anggota perlu : 1) Praktik dalam firma yang mempunyai tempat prosedur kontrol kwalitas internal untuk memastikan bahwa layanan dengan segenap kemampuan dikirimkan dan cukup diawasi, 2) Menentukan, dalam pertimbangan individual mereka, apakah lingkup dan nature pelayanan lain disajikan untuk klien audit akan menciptakan konflik kepentingan dalam performance fungsi audit untuk klien itu, dan 3) Menilai, dalam pertimbangan individual mereka, apakah aktivitas konsisten dengan peraturan mereka sebagai profesional


Kode Etik yang ke dua sebenarnya belum pernah disahkan oleh IAI karena sangat kontroversial. Ciri khusus dari Kode Etik ini adalah Kode Etik ini bukan saja untuk Akuntan Publik tetapi juga untuk Akuntan Manajemen, Akuntan Pemerintah dan Akuntan Pendidik.
Kode Etik yang ke tiga disahkan dalam konggres IAI  V  di Surabaya pada tanggal 20-30 Agustus 1986. Menurut Harahap (1991), Kode Etik ini lahir antara dua kutub ide yang berkembang. Kutub pertama menghendaki agar Kode Etik hanya mengatur profesi Akuntan Publik saja, sedangkan kutub yang lain menghendaki agar Kode Etik mengatur semua akuntan berregister tanpa kecuali di manapun ia berkiprah.
            Keempat kalinya, Kode Etik IAI dirumuskan dalam kongres IAI VI ditambah dengan masukan-masukan yang diperoleh dari seminar sehari. Pemutakhiran Kode Etik Akuntan Indonesia dilaksanakan tanggal 15 Juni 1994 di hotel Daichi Jakarta serta hasil pembahasan sidang Komisi Kode Etik dalam kongres IAI VII di Bandung. Kongres menghasilkan ketetapan bahwa Kode Etik Akuntan Indonesia terdiri atas:
1.      Kode Etik Akuntan Indonesia yang disahkan dalam kongres VI IAI di Jakarta terdiri atas 8 BAB dan 11 pasal ditambah dengan 2.
2.      Pernyataan Etika Profesi No.1 sampai dengan 6 yang disahkan dalam kongres IAI VII di Bandung tahun 1994.

            Dalam rangka meningkatkan kualitas profesi akuntan, IAI dalam kongres VIII telah merumuskan Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru. Kode Etik ini mengikat para anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya. Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru tersebut terdiri dari tiga bagian (Prosiding kongres VIII, 1998), yaitu :
1.     Kode Etik Umum
a.    Terdiri dari prinsip etika profesi, yang merupakan landasan perilaku etika profesional, memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota.
b.   Prinsip Etika disahkan oleh konggres dan berlaku bagi seluruh anggota.
c.    Prinsip Etika yang dimaksud terdiri dari 8 prinsip, yaitu :
·     Tanggung Jawab Profesi. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
·     Kepentingan Umum. Anggota IAI harus menerima kewajiban untuk bertindak dengan suatu cara yang akan melayani kepentingan publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
·     Integritas. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, anggota IAI harus melaksanakan tanggung jawab profesionalnya dengan integritas tinggi.
·     Obyektifitas. Setiap anggota harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
·     Kompetensi dan Kehati-hatian Profesionalnya. Seorang anggota IAI harus melakukan jasa profesional dengan kehati-hatian, kompetensi dan kerajinan dan mempunyai kewajiban yang berkesinambungan untuk memelihara pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja mendapatkan keuntungan dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
·     Kerahasiaan. Setiap anggota IAI harus menghormati kerahasiaan dari informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan yang perlu dan khusus atau kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk pengungkapan.
·     Perilaku Profesional. Seorang anggota IAI harus bertindak dengan tingkah laku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi perilaku yang dapat mendiskreditkan profesi mengharuskan anggota IAI harus mempertimbangkan, ketika mengembangkan kebutuhan etik, tanggung jawab anggota IAI kepada klien, pihak ketiga, anggota profesi akuntan yang lain, staf, pemberi kierja dan masyarakat umum.
·     Standar Teknis. Seorang anggota IAI harus melaksanakan jasa profesionalnya, sesuai dengan standar teknis dan profesional yang relevan. Anggota IAI mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dengan kehati-hatian dan memakai ketrampilannya. Instruksi klien atau pemberi kerja sepanjang sejalan dengan kebutuhan akan integritas.
d.   Kode Etik Umum mengikat seluruh anggota IAI.
e.   Kode Etik Umum dirumuskan oleh Badan Pekerja Kongres dan disahkan dalam kongres.
f.    Badan Pekerja Kongres yang dibentuk oleh pengurus Pusat mengevaluasi Kode Etik Umum berdasarkan masukan dari para anggota, Pengurus Pusat dan Majelis Kehormatan untuk selanjutnya mengusulkan dalam Kongres perubahan Kode Etik Umum Akuntan Indonesia yang dipandang perlu.
2.     Kode Etik Akuntan Kompartemen.
a.   Kode Etik Akuntan Kompartemen mengikat seluruh anggota Kompartemen yang bersangkutan.
b.   Tiap Kompartemen dalam Rapat Anggota Kompartemen wajib merumuskan apakah dipandang perlu bagi anggota Kompartemennya disusun Kode Etik Akuntan Kompartemen.
c.   Karena fungsinya dalam pelayanan jasa profesional kepada masyarakat pengguna jasa profesi Akuntan Publik untuk merumuskan Kode Etik Akuntan Kompartemen Akuntan Publik.
d.   Kode Etik Akuntan Kompartemen disahkan oleh Rapat Anggota Kompartemen.
e.   Tiap-tiap Kompartemen memiliki hak otonomi untuk memutuskan apakah dipandang perlu membentuk badan khusus yang bertugas merumuskan Kode Etik Kompartemen. Badan ini dapat berbentuk badan tetap yang bertanggung jawab kepada Pengurus Kompartemen, atau badan ini merupakan Badan Pekerja Rapat Anggota Kompartemen yang dibentuk oleh Pengurus Kompartemen.
f.    Kode Etik Akuntan Kompartemen disusun berdasarkan Kode Etik Umum oleh karenanya tidak boleh bertentangan dengan Kode Etik Umum Akuntan Indonesia.
3.     Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen.
a.   Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen merupakan panduan penerapan Kode Etik Akuntan Kompartemen.
b.   Disusun oleh Badan Khusus yang dibentuk oleh Pengurus Kompartemen dan disahkan oleh Pengurus Kompartemen.

Beberapa Pelanggaran Kode Etik Akuntan di Indonesia.
            Meskipun telah dibentuk unit organisasi penegakan etika sebagaimana disebutkan di atas, namun demikian pelanggaran terhadap kode etik ini masih ada. Berdasarkan Laporan Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat IAI dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap Kode Etik dan sengketa secara umum meliputi sebagai berikut  :
a.       Kongres V (1982-1986), meliputi : (Hoesada, 1996): 1) Publikasi (penawaran jasa tanpa permintaan, iklan, pengedaran buletin KAP). 2) Pelanggaran Obyektifitas (mengecilkan penghasilan, memperbesar biaya suatu laporan keuangan). 3) Isu pengawas intern Holding mempunyai KAP yang memeriksa perusahaan anak Holding tersebut). 4) Pelanggaran hubungan dengan rekan seprofesi. Dan 5) Isu menerima klien yang ditolak KAP lain dalam perang tarif.
b.      Kongres VI (1986-1990), meliputi : (Hoesada, 1996): 1) Publikasi (ucapan selamat hari Natal, Tahun Baru, Merger pada perusahaan  bukan klien, selebaran, iklan). 2) Perubahan opini akuntan tanpa bukti pendukung yang kuat. 3) WTP tanpa kertas kerja memadahi. 4) Surat akuntan pengganti. 5) Sengketa membawa kertas kerja keluar KAP. 6) Wan Prestasi pembayaran fee. Dan 7) Pengaduan pemegang saham minoritas tentang Laporan Keuangan, KAP dituduh memihak.
c.       Kongres VII (1990-1994), jumlah kasus 21 buah melibatkan 53 KAP, pengaduan terutama berasal dari instansi pemerintah dan BUMN pemakai Laporan (50 % pengaduan), perusahaan klien (30 %), sisanya oleh KAP dan pengurus IAI (20 %). (Hoesada, 1996) Pengaduan meliputi : 1) Dua pengaduan Bappepam tentang kualitas kerja. 2) Sebuah pengaduan Bapeksta tentang cap dan tanda tangan tanpa opini dan tentang pernyataan akuntan terkait pasal 47 KUHD (35 KAP). 3) Pengaduan Direktor Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan tentang penyimpangan Laporan AT dan PAI. 4) Pengaduan Deputi BPKP atas audit perusahaan daerah sesuai NPA. 5) Pengaduan Deputi BPKP tentang penawaran atas kerja sama dalam rangka pemberian jasa akuntan. 6) Pengaduan PT Taspen tentang audit tidak sesuai NPA. 7) Pengaduan klien KAP tentang audit tidak sesuai NPA, laporan audit terlambat, tidak sesuai PAI, dua opini berbeda dua KAP untuk klien periode sama, tugas tidak selesai dan berkas hilang. 8) Pengaduan antar KAP tentang komunikasi akuntan pengganti dan akuntan terdahulu. Dan 9) Pengaduan iklan oleh pengurus IAI.
d.      Konggres VIII (1994-1998), meliputi: objektivitas, komunikasi, standart teknis dan kerahasiaan (Riyanti,1999). Adanya kesalahan sama, yang terulang dari tahun ke tahun tersebut disebabkan karena pengurus lini pertama sampai tingkat atas yaitu Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Hal ini menunjukkan kekurangseriusan IAI dalam menyelesaikan masalah secara tuntas.             
            Sidang Komisi Kongres IAI  VIII bagian Pendahuluan Kode Etik IAI menyatakan bahwa: “Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan terhadap anggota yang tidak menaatinya. Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintah yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.“




SUMBER :